Loading

Sebelumnya Baca Juga Tulisan Bocah Mbelis Yang Ini :

Yang Banyak Di Baca Pada Blog Bocah Mbelis Ini :

Bocah Mbelis » , , , , , , » Tari Angguk Patumbak

Tari Angguk Patumbak

Tari Angguk Patumbak Perpaduan Multi Etnis
Tari tradisional sarat dengan ritual yang bisa menghubungkan penari dengan kekuatan di luar dirinya. Salah satunya adalah tari Angguk. Tarian ini dibawakan secara berkelompok dan mengambil cerita dari Serat Ambiyo dengan kisah Umarmoyo-Umarmadi dan Wong Agung Jayengrono. Durasi tari Angguk berkisar antara 3 sampai 7 jam.


Secara historis, tarian ini sejak abad ke 17 dibawa para mubalig penyebar agama Islam dari wilayah Mataram-Bagelen dan berkembang luas di Jawa Timur. Tarian ini disebut angguk karena penarinya sering memainkan gerakan mengangguk-anggukan kepala. Kesenian bercorak Islam ini mulanya berfungsi sebagai salah satu alat untuk menyiarkan agama Islam. Sayangnya, kesenian ini sekarang semakin jarang dipentaskan.

Perangkat musik yang menyertai tarian ini umumnya terdiri dari kendang, bedug, tambur, kencreng, 2 rebana, terbang (rebana besar) dan angklung. Syair lagu-lagu tari angguk diambil dari kitab Barzanji sehingga syair-syair angguk pada awalnya memang menggunakan bahasa Arab tetapi akhir-akhir ini gerak tari dan syairnya mulai dimodifikasi.

Digerakkan Multi Etnis
Di Medan, seni ini digeluti Motor Seni Angguk Patumbak. Ketua Kesenian Angguk Wijoyo Kesumo Desa Patumbak II, Kecamatan Patumbak, Deliserdang, Heriawan Syahputra (28), mengatakan, seni angguk tak banyak beda dengan seni kuda lumping “kuda kepang”. Sedikit perbedaan terletak pada aliran musik dan lantunan lagu. Dalam kuda lumping, hanya ada iringan lagu, sedangkan di Seni Angguk ada lantunan lagu.
Pria berdarah Cina-Jawa ini menyebutkan, dia memiliki anggota (para penari) yang disebut anak wayang sebanyak 14 orang. Setiap memulai pertunjukan, kepada anak-anak wayang itu terlebih dahulu diperdengarkan lagu mistis berbahasa Jawa hingga anak-anak wayang-anak itu trance, masuk ke tahap kesurupan (ndadi).

Sekumpulan anak-anak muda asal Kota Medan dan Deliserdang itu lalu ‘mabuk’. Alunan musik mengalun seperti mengundang ruh untuk masuk ke raga anak wayang. Mereka ‘mabuk’ seiring tabuhan gendang yang dipukul pemain musik. Bukan hanya anak wayang, para pemain musik pun bisa “mabuk”. Dalam kondisi trance seperti itulah tarian angguk dimulai. Lagu yang dilantunkan untuk menggerakkan penari biasa disebut kepyur-kepyur. Lagu disampaikan sebagai penghormatan kepada orang yang memiliki hajatan, seperti sunatan, pernikahan dan syukuran yang mengundang mereka untuk mentas.

Setelah anak-anak wayang menari dalam waktu tertentu, mereka digiring masuk pada tahap hiburan. Tahap ini merupakan atraksi “mabuk” atau kesurupan danyang ketek “monyet” atau bergaya anak kecil. Setelah itu, anak-anak wayang kembali ke mabuk asli dan tahap memulangkan ruh, dayang kembali ke satu alat bernama gendang. Inilah yang menjadi kewajiban gamboh atau pawang untuk memulangkan personil dengan wujud yang bersih dari ruh. “Ruh ini dikembalikan ke gendang,” ujarnya.

Heriawan Syahputra mengatakan, sebelum menjadi anak wayang, seorang anak muda harus terlebih dahulu diisi melalui ritual khusus yang diberikan pawang. Nah, hal ini tergantung kepada pawangnya bagaimaman memberikan ujian khusus terhadap anggota anak wayang. “Ketertarikan kami kepada seni ini karena sangat dekat dengan mistis, inilah seninya yang tinggi bagi kami,” katanya.

Uniknya, penggiat seni angguk asal Kecamatan Patumbak ini tidak mendapatkan warisan seni itu dari orang tua ataupun membawanya dari Jawa. Mereka tertarik karena melihat dan langsung mempelajarinya dari seorang pembimbing asal Kecamatan Batangkuis, Deliserdang.

Bendahara perkumpulan seni ini, Rudi Tarigan, mereka belajar selama enam bulan pada 2002. Kini mereka mulai eksis dan sudah menyisir sejumlah wilayah di Sumatera Utara. Uniknya, para personil dan anak-anak pawang itu berasal dari berbagai etnis seperti Jawa, Karo, Batak dan Tionghoa. “Kami beragam suku yang jadi penggiat seni ini. Ada Karo seperti saya, Cina-Jawa, Jawa-Sumatera, Batak dan Tionghoa murni,” ujar Rudi.
Rintisan pelajaran seni yang diikuti pemuda ini berawal dari keinginan mengisi waktu luang dan menyalurkan bakat seninya. Ia kemudian betah menekuni seni angguk. Kini, pemuda ini sudah mendapatkan bayaran Rp 700 ribu per sekali tampil. “Tak hanya dari nilai, tapi kami sangat cinta dengan seni ini. Seni ini unik dan enak dilihat,” katatanya.

Walau tak dilahirkan sebagai Jawa, dia mapan memajukan seni angguk asal Jawa Timur ini di Sumut. Namun itu bukan berarti dia mengabaikan seni dari kebudayaannya. “Seni ini sangat sedikit yang mengembangkan, terus karena dekat dengan mistis, saya tertarik,” katanya.
Salah seorang pengurus kesenian ini, Gregi Ilchen (28), pria berdarah Tionghoa, mengaku tertarik dengan seni angguk akibat dekat dengan mistis. Di awal rintisannya, ia mengaku sulit menyalurkan dan melapazkan syair lagunya, tapi karena berbaur dan dibesarkan di lingkungan multi etnis, dia mengikut jiwanya yang senang pada seni.

“Gampang-gampang susah mengembangkan dan mengikuti seni angguk ini. Tapi kalau sudah memiliki jiwa seni, akan sangat mudah dan enak bila ditekuni,” ucapnya seraya mengaku termasuk tiga orang perintis awal seni angguk asal Kecamatan Patumbak.

Kini mereka mendapatkan perhatian, apalagi ketika muncul Gregis Ilchan. Paras Tionghoa yang begitu kentara, membuat penonton tersipu dan heran melihatnya. Tak hanya itu, ada Arpan Sitompul (25) dan pria jawa kelahiran Sumatera Selatan, Jumain (38). Mereka juga mulai mendapatkan donatur yang membantu kelengkapan alat dan pakaian dari H Misran Tupono, seorang jawa yang peduli. Begitulah seni angguk yang langka dan tidak populer, dikelola sebagai wadah persatuan multietnis. (ril/net)
http://www.hariansumutpos.com

Baca Juga Yang Ini:

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Terakhir :

Post Kota Ngawi :

 

Bocah Mbelis Paking Design by Oca © 2012

Bocah Mbelis Dolalak (Tarian Khas Purworejo)<a href='http://bocah-mbelis.blogspot.com/2012/04/dolalak-tarian-khas-purworejo.html'></a>